Opini

Opini

Opini

Apr 19, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

2019 : Masih Adakah Harapan?

Oleh : Fikri Fadh*

Bangunan di Lombok masih bersifat hunian sementara. Para relawan masih banyak yang bertahan di lokasi pasca bencana. Bantuan logistik masih hilir mudik. Penggalangan bantuan masih dilakukan. Diperpanjang sampai beberapa pekan. Namun, duka kembali melanda. Beberapa hari yang lalu, Sulawesi mendapatkan cobaan. Rasa kemanusiaan anak bangsa kembali diuji. Kehadiran pemerintah kembali dinanti. Para relawan kembali berpamitan kepada keluarga, “Kemanusiaan Memanggil”.

Bencana Menjelang Pemilu

Saya tidak bermaksud mengaitkan kejadian bencana alam dengan kontestasi politik. Tidak juga akan melakukan ramalan-ramalan. Namun akan mengajak kepada anak bangsa merenungkan sejenak.

Bencana alam adalah hak alam. Tapi, apakah kita sebagai manusia sudah memenuhi hak-hak alam? Atau malah merampas hak-hak alam? Ini yang menjadi perenungan kita bersama.

Disaat orientasi pemilu adalah pembangunan supaya menjadi lebih baik, akan tetapi malah menjadikan perilaku kita jauh dari kata “baik”. Sesama anak bangsa renggang karena pilihan politik. Menjadikan silaturahmi hanya untuk kepentingan menjaga suara. Bukan untuk menyambung tali antar saudara.

Ketika kita disibukkan untuk membangun, Allah dengan Maha Kuasanya meruntuhkan. Kita terlalu sibuk membangun. Tanpa tajam menganalisis, pembangunan seperti apa yang sesuai dengan geografis Indonesia. Kita terlalu sibuk berpolitik. Tanpa kita membuka hati, cara berpolitik kita, apakah saling berlomba-lomba dalam kebaikan? Atau saling jegal, dan tikam dengan kampanye hitam.

Bencana menjelang pemilu adalah peringatan. Bagi anak bangsa yang sadar, akan lebih menjunjung tinggi kemanusiaan. Dari pada kepentingan.

Pemilu Jangan Menjadi Bencana Selanjutnya

Kita tahu bersama. Sebelum terjadi bencana alam di Lombok, kita sedang menyimak para politisi mantan napi korupsi membela diri. Memaksakan untuk tetap bisa ikut berkontestasi. Dengan menggunakan pijakan HAM mereka berdalih, untuk tetap menjadi deretan wakil rakyat yang akan dipilih.

Relawan tidak hanya di dunia kemanusiaan. Tapi juga ada di dunia perpolitikan. Saya melihatnya lucu. Membungkus kepentingan dengan atas nama kerelawanan. Dengan dalih menguji militansi, meskipun tidak digaji. Militansi untuk siapa? Ada negara yang lebih membutuhkanmu dari pada berkubu. Setalah berhimpun dalam kubu, malah saling bersiap bagai di atas ring tinju.

Apakah ini adalah resiko demokrasi? Bisa jadi iya. Setiap pilihan pasti ada resikonya. Tetapi sebagai anak bangsa yang menjunjung tinggi nilai persatuan Indonesia harus cakap memahami semua ini. Jika demokrasi akan ada resikonya. Pemilu akan ada chaosnya. Mari melakukan mitigasi. Sebelum terjadi bencana alam, mitigasi sudah sering diajarkan. Tapi mitigasi bencana akibat pemilu, harus pula kita upayakan.

Berharap untuk Indonesia

Sekalipun politik saat ini sebagai mata pencaharian, dan banyak masyarakat yang tidak percaya janji-janji. Toh pemilu tetap dilaksanakan. Sistem demokrasi yang dipilih oleh negara ini,  harus tetap dijalankan. Bagi yang pro, silakan membuktikan. Bagi yang kontra silakan menata usulan dan kritikan.

Bagi yang pro maupun kontra, semoga bencana alam yang melanda bisa menjadi pengingat. Bahwa kuasa manusia tidak ada apa-apanya. Segenap anak bangsa sudah pandai membaca. Situasi apa yang di depan mata. Baik situasi bencana alam ataupun bencana akibat ulah perpolitikan.

Dengan niat yang baik mari kita mengambil peran. Teruslah belajar. Bekerja yang sungguh-sungguh, kurangi mengeluh. Berbenah diri. Tolong menolong dalam kemanusiaan. Sehingga masa depan Indonesia akan terjawab. InsyaAllah, Indonesia masih ada harapan. Wallahu’alam.


*Founder Komunitas Literasi Janasoe.

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here