News

News

MediaMU.COM

Apr 23, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang
Breaking
Pasca Putusan MK, Abdul Mu'ti Apresiasi Sikap Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud FLC PWM DIY dan SDN Karangsari Kolaborasi Tingkatkan Motivasi Belajar Ketum PP Pemuda Muhammadiyah Minta Semua Pihak Hormati Putusan MK Inilah Makna Syawalan Bagi Cabang Ranting dan Masjid Berkemajuan Sukses di DPD RI, PWM DIY Siapkan Kader-kader Terbaiknya di Pilkada Serentak 300 Warga Muhammadiyah Ngaglik Hadiri Syawalan, Siap Bangun SMP Muhammadiyah yang Pertama Timnas U-23 Menang Lawan Australia Berkat Mahasiswa Muhammadiyah, Inilah Komentar Syauqi Soeratno Dukung Timnas U-23 di Piala Asia, PP Muhammadiyah Gelar Nonton Bareng Ragam Cerita Posko Mudikmu Tempel: Insiden Minibus dan Evakuasi Pemudik Terlantar Haedar Nashir: Puasa Ramadan Memberikan Nilai Tengahan Bagi Umat Muslim Alumni Sekolah Muhammadiyah Harus Punya Nilai Lebih Dan Beda Video Pendeta Gilbert Viral dan Tuai Polemik, Ini Respons Sekum PP Muhammadiyah Agus Taufiqurrahman: RS Muhammadiyah Berazaskan Kasih Sayang, Berpihak Pada Dhuafa Jamu PP Aisyiyah, Haedar Nashir Berpesan Untuk Dekatkan Dakwah dengan Masyarakat Lazismu bersama MPM PP Muhammadiyah Salurkan 1000 Paket Zakat Fitrah dan Fidyah Abdul Mu'ti: Jadikan Idulfitri Momentum Rekonsiliasi Sosial Ketua PP Muhammadiyah Prihatin Korupsi Subur di Tengah Masyakarat yang Religius Haedar Nashir: Puasa Momentum Seimbangkan Hidup dengan Sikap 'Tengahan' Warga Muhammadiyah Lokshumawe Shalat Id Serentak di Halaman Masjid At-Taqwa Taawun Sosial Ramadan PWA DIY: Berbagi Berkah dan Pesan Kebajikan

Media Literasi untuk Demokrasi Bermartabat

YOGYAKARTA — Revolusi informasi, selain berdampak positif, juga membawa serta kompleksitas masalah bagi kehidupan di semua ranah: sosial, budaya, ekonomi, politik, dan agama. Kebutuhan informasi makin tak terbendung. Setiap orang ingin menyegerakan untuk ingin tahu tentang apapun. Islam menekankan penyampaian informasi harus benar dan penerimaan terhadap informasi harus dengan klarifikasi (tabayyun).

Menyadari realitas ini, PP Muhammadiyah merumuskan fikih informasi sebagai implementasi dari program Majelis Tarjih dan Tajdid (2015-2020) untuk mengoptimalkan peran kelembagaan dan pusat-pusat kajian bidang tarjih, tajdid, dan pemikiran Islam serta meningkatkan peran strategis bidang keagamaan di tengah dinamika kehidupan kontemporer (Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 47, 2015: 27).

Salah satu tim penulis, Robby Habiba Abror menyatakan bahwa perkembangan informasi mengkonstruks kultur virtual dan digital bagai dunia baru, di samping dunia nyata yang berkorelasi dengan konteks keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan universal. “Maka rumusan fikih informasi, bagian dari  upaya dan realisasi visi Muhammadiyah agar berperan strategis dalam kehidupan umat, bangsa, dan dinamika global,” ujarnya dalam Diskusi Publik LPPA di Grha Suara Muhammadiyah, 16 Februari 2019.

Informasi bermutu rendah, ungkap Robby, menimbulkan kesalahpahaman, sarat dengan penyimpangan makna sebagai akibat proses transmisi yang buruk, tiadanya verifikasi, dan sering disebabkaan oleh niat penyebaran yang memang ditujukan untuk membuat kesalahpahaman dan fitnah.

Menurut Ketua MPI PWM DIY ini, dalam informasi, ada pesan, ilmu pengetahuan, mitos, dan realitas. Sumber informasi yang berasal dari keyakinan berupa wahyu QS. 10: 57 dan sunah (QS. 36: 2-5). Dalam kehidupan muslim, wahyu dan sunah adalah basis utama dari informasi yang menjadi pandangan hidup, paradigma berfikir, dan akhlak.

“Di media sosial, setiap orang seperti menjadi bagian dari masyarakat baru (new society). Dengan media baru, seseorang dapat berinteraksi secara real-time dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Ia bisa menjadi dirinya sendiri atau sama sekali bukan dirinya. Ia dapat membelah dirinya menjadi banyak peran, bahkan banyak topeng, dikarenakan tuntutan aktivitasnya yang semakin tak terbatas di dunia barunya,” ungkap Robby.

Leonard C Epafras dari ICRS Universitas Gadjah Mada, menguraikan tentang realitas dunia media yang berubah. Perkembangan media daring ikut serta mengubah media mainstream. Selain itu, di Indonesia juga terjadi konvergensi media dan oligopoli media. Media yang ada umumnya dimiliki oleh para pemilik modal dan atau para pelaku politik.

Selain karena adanya agenda setting dan framing media, terdapat juga kecenderungan masyarakat untuk tidak utuh dalam menerima informasi. Semisal tentang produksi berita yang mengaduk emosi. Menurut Leo, secara psikologis, manusia takut akan kehilangan. “Kehilangan sesuatu yang dianggap berharga, menimbulkan rasa tidak nyaman yang lebih besar daripada mendapat keuntungan yang setara,” ujarnya.

Dalam suasana berlimpahnya informasi, terjadi pergeseran otoritas keagamaan. Masyarakat tidak lagi merujuk pada pakar. “Ketika ada masalah, umumnya bertanya ke Google,” ujar Leo. Dalam sebuah survei, mereka yang bertanya ke tokoh agama secara langsung hanya sekitar 20%.

Leo melihat beberapa gejala para konsumen media. Umumnya adalah hanya membaca headline atau judul berita. Terdapat gelembung pengetahuan (epistemic bubble), yang menyebabkan mis informasi, tidak melakukan verifikasi. Ada juga ruang gema (echo chamber), yang membuat orang tidak percaya pihak seberang dan sengaja mendiskreditkan pihak lain.

Sisi lain, kata Leo, terjadi fenomena post truth. Verifikasi kebenaran tidak lagi berdasar fakta-fakta objektif. “Saya percaya sesuatu, maka saya benar. Tergantung kemampuan meyakinkan orang lain,” ulasnya.

Supaya tetap bijak di era ini, Leo memberikan beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, berpikir kritis dan framing positif guna mendorong pers/media yang sehat. Kedua, self filtering pada tingkat institusi, keluarga, pendidikan (sekolah). Ketiga, membumikan nilai agama, khususnya dalam kaitan dengan liyan. Keempat, berbeda rasa dan berbelas kasih.

Wakil Ketua LPPA, Khusnul Hidayah memiliki pendapat serupa. Produksi hoaks kadang tergantung pada narasi media. Fenomena ini menjadi tantangan dalam peningkatan kualitas berdemokrasi, yang menuntut keterbukaan informasi. Demokrasi yang berkualitas, beranjak dari demokrasi prosedural ke demokrasi yang lebih substantif.

Demokrasi yang substansif dimaksudkan sebagai demokrasi yang mengedepankan pada nilai-nilai. Mendidik pemilih yang rasional, preferensi pemilih, dan melihat track record para kandidat yang akan dipilih dalam pemilu.

Menurut dosen ekonomi UAD ini, terdapat banyak tantangan demokrasi di tengah masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah tentang penyebaran berita hoaks, black campaign. Selain itu, media sebagai sumber informasi juga kadang tidak berimbang dan memihak pilihan tertentu. Dalam kondisi ini, kata Khusnul, diperlukan adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Aisyiyah sebagai salah satu organisasi perempuan, memiliki tanggung jawab untuk terus mengedukasi publik. Semisal pendidikan politik komunitas di Balai Sakinah Aisyiyah. (ribas)


Sumber: http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/02/16/media-literasi-untuk-demokrasi-bermartabat/

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here