Opini

Opini

Opini

Apr 25, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Yunahar Ilyas Penggagas Feminisme Islam

Oleh: Siti Ruhaini Dzuhayatin

Di antara banyak rasa kehilangan, apresiasi, laqob dan pujian terhadap gagasan dan pemikiran Ustadz Yunahar dari berbagai kalangan, ada kesan mendalam dari perjumpaan saya dengan beliau di sekitar tahun 1995-2000, pada saat ghirah dan gairah kontestasi feminisme dan agama sangat pasang. Bukan semata dalam Islam, tapi seluruh agama.

Gender  sebagai pisau analisis begitu “tajam” membedah dan membersihkan. Dalam bahasa Buya Syafii: lumpur-lumpur hitam yang mengotori pesan suci agama terhadap perempuan – patriarkhi menempel pada pemahaman keagamaan, yang membuat perempuan terpuruk selama berabad-abad.

Awal 1990-an adalah era perempuan dan agama – perempuan “berani” mengklaim kapasitas dan otoritasnya untuk “bicara” tentang dirinya sendiri dengan kekuatan intektual dan kemampuan bahasa: mempertanyakan, menganalisis, mengkritik dan menemukan “sisi-sisi emansipatoris” ajaran agama yang mulia dan memuliakan perempuan.

Feminisme dan analisis gender sangat kritis membedah ideologi-ideologi kultural sampai pada asumsi  “binary opposition” yang tersembunyi dalam ungkapan bahasa para penafsir dan “the author” khazanah agama, termasuk bahasa Arab, bahasa al-Qur’an dan khazanah Islam yang berabad tidak dipersoalkan.

Kemunculan tulisan-tulisan saya awal 1990-an banyak mendapat respon: konservatif, moderat dan progresif — dan khalayak memang membutuhkan “klarifikasi dan legitimasi” dari narasi dan diskursus yang kami, aktifis perempuan — yang dalam bahasa Alimatul Qibtiyah disebut “Feminist Muslim”, maka tahun-tahun itu adalah panggung bagi saya dan Ustadz Yunahar dalam membahas isu feminisme dan kesetaraan gender dalam Islam, pada awalnya bersifat argumentatif- kontestatif yang dalam spektrum Ma’moen Murad, beliau masuk “moderat kanan”.

Namun harus saya akui bahwa Ustadz Yunahar pada masa itu berada pada aras “konservatif” dan saya diposisikan dalam “femininisme liberal” oleh Mahasri Sobahya. 

Also Read Petuah Simbah

Meski saya harus memberi catatan “tebal” dan mengoreksinya karena saya menggunakan aliran-aliran feminisme untuk membantu memetakan masalah semata, yang memiliki kecenderungan universal seperti: hak sekolah, hak politik dan pemimpin publik, kekerasan terhadap perempuan, hak reproduksi, dan lain-lain

Saya berketetapan  membangun premis-premis “kesetaraan gender” dari dalam Islam sendiri — yang saya ramu dari pembacaan teks Islam, mensintesis argumen Amina Wadud, Mernissi, Laila Ahmad, Rifaat Hassan — yang tidak semua saya setujui.

Panggung kami selalu riuh dan hidup dari awal-akhir di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UGM, UII, Rifka Annisa, UMY, UAD dan di mana pun. karena kontestasi pemikiran kami berdua, dan nampaknya audience menikmati perbedaan pemikiran kami.

Namun, ada suatu “turning point” yang fenomenal pada suatu waktu di tahun 1995 dalam seminar di UAD Jl Kapas Yogyakarta — kami agak lama tidak bertemu di forum — audience merasa kecewa berat!!!

Beberapa dari mereka mengutarakan kegusaran  dan ketidakpuasan dari penampilan kami. Seorang bapak agak sepuh dari PWM DIY berkata, “Saya menjadi bingung, siapakah yang terpengaruh, Ustadz Yunahar yang terfeminiskah? Atau, bu Ruhaini yang sudah terislamkan kembali?”

Dalam respon beliau yang santun: “Iya, ya, mbak Ruhaini. Kali ini kok kita tidak banyak berdebat  sengit sepeti biasanya?” kelakar beliau.

Jangan-jangan betul itu. Tanpa sadar saya sudah terfeminiskankah? Saya pun tidak kalah heran menimpali: “Betul juga Ustadz Yun. Apa saya berkesan lebih Islami?”

Dengan arif beliau menutup forum dengan mengatakan: “Kami, saya dan mbak Ruhaini ini saling belajar. Saya mulai membaca apa itu feminisme dan kadang pinjam dari mbak Ruhaini. Dan beliau juga semakin intens menelaah khazanah Islam. Jadi kami bertanggung jawab membangun pemahaman yang proporsional tentang Islam, feminisme dan gender.”

Dan, yang menggembirakan, ternyata di balik intellectual journey itu, beliau menulis buku “Feminisme” dalam kajian al-Qur’an. Meski tetap dalam “intellectual boundary” masing-masing, kami telah berupaya membangun wacana yang konstruktif dan dialogis. 

Pada tahun 2010 dalam Seminar Nasional Tarjih di Malang, beliau sangat mendukung tanfidz tentang presiden perempuan yang mauquf hampir seabad, mendukung sinkronisasi usia nikah sesuai UU Perlindungan Anak dan mendukung  penguatan keluarga sakinah berbasis keluarga monogami.

Tak terasa, basah mata ini mengenang proses pembelajaran mematangkan  konsep “Islam dan Kesetaraan Gender” bersama beliau, yang berargumen dengan  santun, jauh dari makian dan kata-kata kasar. Dan tentu saja ketawadlukan. 

Ketika membezuk beliau di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta beberapa  waktu lalu, beliau masih ingat masa-masa “sepanggung bersama” dalam kontestasi bermartabat dan menguatkan itu.

Dan, ketika saya haturkan buku “Rezim Gender Muhammadiyah”, yang di dalamnya juga memuat diskusi dan refleksi wacana yang kami bangun bersama, sambil tertawa beliau berkata: “Haa… Haa…. Bisa saja menggugah orang mau baca.”

Selamat jalan Ustadz Yunahar. Kembalilah engkau kepada yang memiliki hidup dan semoga engkau selalu berada disisi Allah SWT menuju keabadian jannatun naim.


Slipi, 5 Januari 2020.

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here