Opini

Opini

Opini

Mar 29, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Penyebab Faham Salafi Subur di Muhammadiyah

Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi
(Ketua Pusat Tarjih Muhammadiyah UAD)

Muhammadiyah dan Salafisme di bulan September ini, menjadi topik yang hangat diperbincangkan di medsos. Setidaknya ada tiga tulisan yang secara kritis menyoroti sepak terjang keduanya. Tulisan pertama berjudul Menyikapi Tren Salafisme di Muhammadiyah oleh Biyanto, wakil sekretaris PWM Jawa Timur. Tulisan kedua ditulis oleh Nurbani Yusuf ketua PDM kota Batu berjudul Muhammadiyah Salafi: Persilangan Identitas Baru?. Terakhir, yang ketiga, ditulis oleh Sekjen DPP IMM, Robby Karman,  berjudul Membentengi Muhammadiyah dari Paham Salafi.

Jika dibaca, tampak bahwa benang merah dari ketiga tulisan tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan mereka terhadap paham salafi.  Yang mana, telah mengakar cukup kuat dalam sanubari sebagian warga Muhammadiyah.

Untuk bisa menangkal paham salafi, tentu kita harus tahu penyebab mengapa paham tersebut bisa tumbuh subur di Muhammadiyah. Karenanya, tulisan ini mencoba menelusuri faktor penyebab mengapa paham salafi bisa berkembang dengan sangat baik di Muhammadiyah.

Agar fokus, tulisan ini khusus menyoroti sekaligus mengelaborasi apa yang telah disinggung sebelumnya oleh Nurbani Yusuf dalam tulisannya di atas.

Dalam tulisannya, Nurbani Yusuf ‘meramalkan’ masa depan salafi di Muhammadiyah yang menurutnya masih akan terus berkembang pesat. Menurutnya, salah satu alasannya adalah karena “fatwa-fatwa Ustadz Salafi lebih mudah ditemukan (didapatkan) daripada fatwa-fatwa Majelis tarjih”.

Pertanyaan yang ingin dijawab oleh tulisan ini adalah seberapa mudah fatwa dari ustadz-ustadz salafi didapatkan? Dan mengapa fatwa-fatwa dari Majelis Tarjih Muhammadiyah sulit untuk ditemukan? Dua pertanyaan besar ini kemudian akan mengantarkan pada satu pertanyaan penutup: Lalu, apa yang seharusnya dilakukan oleh Muhammadiyah?

Fatwa Online dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan

Nico J.G. Kaptein dalam tulisannya berjudul The Voice of the ‘Ulamā: Fatwas and Religious Authority in Indonesia (Kaptein, 2004) menunjukkan faktor penting yang menentukan efektifitas suatu fatwa.

Meskipun tulisan Kaptein muncul pada tahun 2004, tapi tulisan tersebut masih sangat relevan hingga hari ini. Setelah menjelaskan empat tipologi fatwa di Indonesia dalam tulisannya, ia kemudian mengatakan:

“What certainly plays a role in the effectiveness of fatwas today is their enormous disssemination through printed media, radio, television, and the Internet”(Apa yang memainkan peran penting dalam menentukan efektifitas fatwa hari ini adalah besarnya penyebaran fatwa melalui media cetak, radio, televisi dan internet).

Kata kunci dari apa yang disampaikan Kaptein mengenai faktor yang menentukan efektifitas suatu fatwa adalah bagaimana suatu fatwa itu didiseminasikan atau disebarluaskan.

Pesan penting Kaptein ini tampaknya yang hari ini dielaborasi dengan sangat baik oleh kelompok salafi. Mereka sangat cakap dalam hal mendiseminasikan fatwa dan gagasannya. Betapa tidak, jika kita membuka mesin pencarian google misalnya, lalu kemudian kita menulis kata kunci tertentu semisal hukum mendengarkan musik, maka fatwa yang akan keluar adalah fatwa – fatwa dari website -website yang secara ideologi berpaham salafi. Cukup sulit untuk menemukan fatwa-fatwa dari Mufti atau lembaga keagamaan yang berpaham moderat , seperti Muhammadiyah, NU , MUI , atau yang lain.

Karenanya banyak umat Islam yang kemudian lari dan lebih memilih fatwa dari kelompok salafi. Alasan mereka sederhana: “kami butuh, dan yang mudah dicari adalah fatwa-fatwa dari kelompok salafi. Beres”.

Hal ini ditambah lagi dengan karakteristik masyarakat milenial yang segalanya ingin serba cepat, instan, dan tidak mau repot.

Fenomena semacam ini pada gilirannya melahirkan apa yang oleh para peneliti disebut sebagai fragmentasi otoritas keagamaan (fragmentation of religious authority) (Nisa, 2019). Otoritas keagamaan tidak lagi dimiliki hanya oleh Mufti atau lembaga fatwa mainstream. Akan tetapi , juga oleh mereka yang mungkin dahulu tidak dianggap memiliki peluang , untuk menjadi pemain utama.

Otoritas keagamaan tidak terbatas pada suara agama di dunia nyata, tapi telah meluas juga ke dunia maya. Bahkan fragmentasi tersebut dapat dimaknai dengan bergantinya pemain utama (baca: lama) dengan pemain-pemain baru.

Muhammadiyah , NU , MUI barangkali , sebelum era internet berkembang pesat, adalah pemain-pemain utama yang memegang otoritas keagamaan. Akan tetapi, sekarang tiga pemain utama tersebut tampaknya telah digeser oleh pemain-pemain baru yang lebih cepat dan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan globalisasi.

Minimnya Kesadaran Muhammadiyah

Perubahan tatanan masyarakat karena hadirnya internet, tampaknya kurang disadari oleh Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh kelompok salafi. Mereka tanggap, responsif, bahkan memanfaatkan momentum tersebut dengan sangat baik.

Salah satu bukti minimnya kesadaran Muhammadiyah terkait hal ini adalah kurang aktifnya Muhammadiyah dalam aktifitas-aktifitas dunia maya. Konsekuensinya, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah, dalam hal ini adalah Majelis Tarjih, tidak sampai kepada para netizen di luar sana.

Memang , fatwa-fatwa Muhammadiyah tersebut bukan tidak dipublikasikan di internet. Fatwa-fatwa tersebut tetap dipublikasikan, akan tetapi dalam skala yang sangat kecil, tidak masif, minim kreatifitas, dan bahkan banyak yang sudah out of the date.

Selama ini, diseminasi fatwa Muhammadiyah masih setia dengan cara konvensional, alias jadul. Yaitu memanfaatkan majalah Suara Muhammadiyah milik persyarikatan yang terbit hanya setiap dua minggu sekali.

Diseminasi fatwa semacam ini seharusnya tidak dilakukan oleh ormas modernis terbesar di Indonesia yang memiliki jargon “Islam Berkemajuan”. Adalah sebuah paradoks ketika ormas modernis justru tidak mencerminkan kemodernannya; adalah sebuah paradoks ketika ormas berjargon “Islam Berkemajuan” tapi diseminasi fatwanya justru dengan cara yang tidak berkemajuan.

Apa yang Harus Dilakukan Muhammadiyah

Majelis Tarjih sebagai pemroduksi fatwa dan pihak Suara Muhammadiyah sebagai media diseminasinya harus bertemu dan berembug secara serius. Diseminasi fatwa yang selama ini dilakukan, terbukti masih sangat kurang efektif. Akibatnya, gagasan dan pedoman keagamaan ala Muhammadiyah tidak tersebar dengan baik.

Sudah saatnya metode diseminasi fatwa secara konvensional tersebut diperkaya – untuk tidak mengatakan ditinggalkan. Diperkaya dengan cara penyebarluasannya ditingkatkan melalui internet dan media-media yang mudah dijangkau oleh masyararakat.

Selama ini , kita selalu mengeluh. Banyak warga Muhammadiyah yang lari ke kelompok salafi. Bisa jadi penyebabnya ada pada diri kita sendiri. Jika kita tidak mau semakin banyak warga Muhammadiyah yang hijrah ke salafi, maka sudah saatnya Muhammadiyah memberikan perhatian serius pada diseminasi fatwanya agar lebih efektif, kreatif, dan masif.

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here