Opini

Opini

Opini

Apr 20, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Selamat Jalan Ustad Yun

Oleh: Sobar M Johari
(Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

Pertemuan pertama dengan Ustad Yun (kami biasa memanggilnya), pada saat OSDI (Orientasi Dasar Studi Islam) 2001 saat beliau sedang mengisi materi.

Saat itu sebagai mahasiswa baru yang sedang kritis-kritisnya, saya dan beberapa rekan-rekan menanyakan hal-hal yang mungkin dianggap aneh, seperti: “Kenapa Islam lahirnya harus di Timur Tengah, bukan di Indonesia?”, “Kenapa nabinya harus Muhammad?”

Ustad Yun, menjawab dengan santai, tanpa menunjukkan muka marah. Menjawab semua pertanyaan dengan gamblang dan rasional, yang membuat kita kagum.

Saat saya dan teman-teman mengambil matakuliah beliau, Ilmu Tafsir, di kelas kita harus selalu fokus. Jarang ada yang berani senda-gurau. Dan sesekali kita mengajukan pertanyaan aneh-aneh lagi, langsung ditebas dengan jawaban yang tegas dan jelas.

Lama-lama kami menikmati ilmu yang diajarkan. Dan kelas selalu penuh jika beliau mengajar, anak-anak tidak berani telat. Ujian tulis matakuliah Ustad Yun selalu tertutup dan jangan berharap dapat nilai dari belas kasihan, karena cuma beberapa saja yg dapat nilai B atau A. Selebihnya mendapat nilai C dan D. Mungkin, itulah cara Ustad Yun menggembleng mahasiswa.

Saat aktif di dunia kemahasiswaan, muncul novel yang fenomenal di Yogyakarta: “Tuhan Jadikan Aku Seorang Pelacur”. Novel itu menggemparkan Yogyakarta dan dunia pendidikan, karena siapapun yang membaca pasti melibatkan emosi dalam dirinya.

Beberapa bagian isinya ada yang dianggap melecehkan agama dan menyerang beberapa kalangan. Karena viral saat itu, akhirnya novel itu dibedah di UMY. Beberapa dosen yang dihubungi jarang ada yang berani menjadi narasumber. Bahkan, beberapa kalangan menolak diadakannya acara itu. Apalagi, salah satu panelisnya AM Safwan dari Rausyan Fikr, yang saat itu memang sedang digandrungi mahasiswa karena pemikiran kritisnya.

Tanpa disangka Ustad Yun, dengan cepat dan tanpa beban, berkenan menjadi narasumber. 

Bedah buku tersebut terasa sangat menegangkan. Peserta membludak sampai ada yang duduk lesehan dan banyak yang berada di luar ruangan.

Tanpa kita sangka, Ustad Yun bisa “membabat” logika sastra dan filsafat yang “nyeleneh”  pada novel tersebut. Peserta dibuat kagum. Bahkan, pada akhirnya penulis novel pun mengakui kalau novel itu hanyalah fiksi.

Memang tidak salah, julukan yang disematkan ke beliau saat itu: Ustad Yun adalah ulama “benteng akidah”, yang sampai akhir hayatnya beliau konsisten menyelamatkan umat dari “penyesatan akidah dan akhlak”.

Bukunya pun yang berjudul “Kuliah Aqidah dan Akhlak” selalu laris dan dijadikan referensi oleh banyak kalangan perguruan tinggi.

Beliau bisa hadir di tengah generasi muda tanpa canggung atau merasa lebih tua. Saat mengisi Darul Arqam Paripurna IMM di Cibubur, beliau mengisi “Kepemimpinan Prophetic Anak Muda”.

Pada saat mengisi materi tersebut, beliau lebih banyak bercerita masa kecilnya dan saat menjadi mahasiswa.

Di antara yang saya ingat, saat SD beliau mengikuti lomba pidato. Karena dana yang terbatas dan tidak ada kendaraan, saat itu beliau harus jalan kaki jauh sampai beberapa kilometer. “Beruntung saya mendapatkan juara pertama,” kata Ustadz Yun, seraya tertawa renyah menceritakan hal itu.

Menarik lagi, saat beliau bercerita pernah merobek-robek tempelan pengumuman di mading kampus.

Saat itu, beliau menjadi Ketua Komisariat IMM IAIN Imam Bonjol, akan mengadakan kegiatan. Maka, dibuatlah pamflet kegiatan dan ditempel di mading.

Karena beberapa dosen dan mahasiswa saat itu tidak tidak suka dengan keberadaan IMM, maka dicopotlah pengumuman itu dan ditutup dengan pengumuman yang lain. Maka, ketika melihat itu, beliau langsung merobek-robek pengumuman di mading.

Dengan senyum khasnya beliau menceritakan dan itu membuat seluruh peserta DAP tertawa.

Saat di fakultas UMY, betapapun beliau sudah menjadi Ketua PP Muhammadiyah, dosen senior sekaligus ketua senat fakultas, beliau ketika bertemu suka bercerita dan bercanda. Apalagi ke dosen-dosen yang lebih muda.

Masih ingat, saat saya bertemu pertama kali setelah penulis menjadi dosen. Kelakar beliau sambil tertawa: “Sobar, kalau sudah jadi dosen pakaiannya sedikitlah yang bagus dan rapi, jangan kayak saat mahasiswa.” Saya pun tertawa.

Kebetulan, dalam beberapa tahun, meja beliau di ruang dosen tepat di samping meja saya. Beliau selalu menyapa, begitupun ketika penulis datang lebih duhulu. Dan kadang tak sadar Ustad Yun sudah ada di mejanya.

Beliau selalu menyapa: “Bagaimana, Sobar?” Dan saya langsung mendekat untuk bersalaman. Dan beliau biasanya langsung bercerita, seperti biasanya ditambahi sedikit “joke” yang membuat saya tertawa.

Pernah ketika saya menceritakan situasi muktamar dan kepengurusan IMM yang kadang ribut, beliau malah kadang tertawa, tapi tetap dibumbui nasihat. Beliau bilang: “Anak muda nakal itu biasa, yang penting tetap shalat dan usahakan jangan maksiat.”

Terakhir sebelum sakit, saat setelah jamaah shalat di fakultas — seperti biasa ngobrol ringan setelah shalat — beliau memberikan nasihat tetang karir dosen dan berfikir positif terhadap masa depan.

“Rezeki itu tidak bisa ditebak, yang penting tetap jalani dengan sungguh-sungguh karir yang ada di depanmu. Boleh jadi, itu yang akan mengantarkanmu berkah.”

Beliau bercerita sambil merendah, bahwa beliau dulu tidak pernah terfikirkan menjadi Profesor. Apalagi menjadi Ketua PP Muhammadiyah.

Mungkin, itulah kerendahan hati Ustad Yun, yang membuat beliau mulia. Disegani dan selalu ditunggu nasihat dan ceramahnya di manapun berada.

Selamat jalan guru. Semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat yang paling baik di sisinya.


Taichung, 4 Januari 2020.

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here