Opini

Opini

Opini

Apr 24, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Apa Maunya Pemerintah?

Oleh: Hatib Rahmawan*)

Sepertinya ada yang salah terhadap penanganan pandemi Covid-19. Hal ini terlihat dari gaya pemerintah yang menyederhanakan persoalan—dengan menutup-nutupi data— hingga lambannya mengeluarkan kebijakan.

Diperparah lagi dengan kebijakan yang membingungkan masyarakat, yakni bebaskan napi hingga Stafsus yang tidak paham administrasi negara.

“Indonesia penduduknya 2.70 juta jiwa, yang terinfeksi belum sampai 500 orang, masih jauh kalau dibandingkan dengan Amerika.” ujar Luhut dengan santuy. Menteri serba tau, juga mengatakan, “tidak semua negara yang menerapkan lockdown berhasil”. Pernyataan ini benar, tapi strategi apa yang akan dilakukan pemerintah?

Sampai sekarang tidak ada kepastian dari pemerintah. Apakah harus lockdown, karantina wilayah, herd immunity, atau pembiaran, seperti konsepnya Darwin, Struggle for Life.

Dilihat dari lagaknya, sepertinya pemerintah lebih memilih herd immunity. Namun, pemerintah tidak berani mengatakan hal tersebut dengan tegas dan jelas! Resiko, dampak, dan kebutuhan anggaran tidak berani dibuka di depan publik.

Herd Immunity dan Cara Kerjanya

Sounders WB, dalam Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, menjelaskan bahwa Herd Immunity adalah pertahanan suatu kelompok dari serangan suatu penyakit karena imunitas sebagian besar anggotanya, yang menyebabkan individu yang minor dan rentan tidak terkena penyakit tersebut (1994: 812).

Dari pengertian di atas, cara kerja herd immunity adalah dengan menggunakan komunitas yang telah kebal terhadap penyakit menular untuk melindungi komunitas yang masih rentan (weak). Semakin banyak komunitas yang kebal, maka semakin aman komunitas yang lemah. Komunitas yang kebal tersebut menjadi tameng (border) bagi yang lemah.

T. Jacob John dan Reuben Samuel, dalam tulisannya “Herd Immunity and Herd Effect”, yang dimuat dalam Jurnal European Journal of Epidemiology, menjelaskan bahwa keberhasilan herd immunity berbeda di setiap daerah. Besaran jumlah komunitas kebal yang dibutuhkan juga sangat tergantung dari jenis penyakit (virus dan bakterinya). Intinya, semakin besar (luas) program imunisasi dilakukan, maka dampak resiko penularan semakin kecil.

Noreen Iftikhar, dalam artikelnya “What is Herd Immunity and Could it Help Prevent Covid-19?” yang dimuat www.healthline.com, menjelaskan bahwa populasi kebal yang dibutuhkan agar efektif menangani penyakit menular berkisar 80-95%. Jumlah ini lebih besar dari wacana yang banyak berkembang di media yang menyatakan cuma 70%.

Noree juga menjelaskan menjelaskan bahwa untuk membuat sebuah komunitas menjadi kebal dibutuhkan vaksin atau imunisasi. Inilah yang disebut dengan artificial active immunity, yakni sebuah cara merekayasa kekebalan tubuh manusia dengan menggunakan vaksin.

Memang benar tubuh dapat membentuk imunitas sendiri terhadap serangan virus ataupun penyakit lainya. Itulah yang disebut dengan innate immunity (kekebalan bawaan). Namun, kekebalan ini tidak dapat diprediksi dengan jelas, seberapa kuat dan lama tubuh seseorang bertahan dari serangan virus.

Apakah Herd Immunity tepat untuk Covid-19?

Itulah sebabnya merekayasa kekebalan tubuh terhadap serangan virus menjadi penting. Caranya dengan memasukan vaksin ke dalam tubuh manusia. Jadi herd immunity itu diterapkan ketika vaksin dari virus telah ditemukan. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah Covid-19 belum ditemukan vaksinnya, lalu apakah tepat menerapkan kebijakan ini?

Noree memberikan 8 alasan mengapa dalam penanganan Covid-19 ini tidak tepat menggunakan sistem herd immunity. Alasan tersebut adalah:

  1. Belum ada vaksin untuk Covid-19. Vaksinasi adalah cara teraman untuk menerapkan herd immunity dalam suatu populasi.
  2. Penelitian mencari antivirus dan obat lain untuk mengobati Covid-19 saat ini sedang berlangsung.
  3. Para ilmuwan tidak dapat memastikan apakah pasien yang telah terpapar Covid-19 dapat terkena lebih dari sekali atau tidak.
  4. Orang yang terkena Covid-19 dapat mengalami efek samping yang serius.
  5. Kasus yang parah dapat menyebabkan kematian.Dokter belum tahu persis sebab beberapa orang yang terkena Covid-19 mengalami kondisi yang buruk, sementara yang lain tidak.
  6. Anggota masyarakat yang rentan, seperti orang dewasa yang lebih tua dan orang-orang dengan beberapa kondisi kesehatan kronis, dapat menjadi sangat sakit jika mereka terkena virus ini.
  7. Meskipun, bisa jadi orang yang sehat dan lebih muda dapat menjadi sangat buruk dengan Covid-19.
  8. Rumah sakit dan sistem perawatan kesehatan mungkin sangat kewalahan jika banyak orang terpapar Covid-19 secara bersamaan.

Dari 8 alasan di atas itulah banyak negara yang terkena pandemi Covid-19 tidak menerapkan herd immunity. Selain konteksnya berbeda, herd immunity tanpa vaksin atau imunisasi, menyebabkan dampak yang sangat menyakitkan buat korban.

Physical distancing dan karantina wilayah adalah cara yang sangat rasional untuk mencegah penyebaran dan perluasan Covid-19. Jika penyebaran virus ini tidak dibatasi, maka musibah ini akan berlarut-larut dan memakan waktu yang sangat lama.

Struggle for Life

Sebagaimana dijelaskan di atas, kerja herd immunity akan efektif apabila populasi manusia atau komunitas yang kebal tadi mencapai 80-95%. Fakta ilmiah ini sekaligus membantah orang-orang yang tidak mau memberikan imunisasi kepada bayinya. Mereka mengatakan bayinya tetap sehat karena tidak diberi imunisasi. Benar sehat, karena mereka termasuk komunitas yang 20% terlindungi.

Kembali pada persoalan herd immunity yang membutuhkan populasi kebal 80-95%. Jika penduduk Indonesia saat ini berjumlah 267 juta jiwa (berdasarkan data BPS), dengan asumsi 70%, maka dibutuhkan sekitar 186,9 juta jiwa yang kebal. Jika dikontekskan pada DKI, yang jumlah penduduknya 10.57 juta jiwa, maka dibutuhkan penduduk yang kebal sebanyak 7,4 juta jiwa.

Permasalahannya adalah penerapan herd immunity harus didahului dengan pemberian vaksin. Jika saat ini belum ditemukan vaksin dari Covid-19, maka sama saja dengan membiarkan jutaan jiwa tadi terpapar dalam ketidakpastian, antara hidup dan mati.

Jadi yang berlaku saat ini adalah innate immunity. Membiarkan penduduk Indonesia memproduksi imun sendiri-sendiri. Individu yang kuat akan terus hidup. Sementara yang rentan akan tergeletak mati.

Kondisi saat ini persis seperti teori Darwin, struggle for life. Hanya spesies unggul yang akan bertahan hidup. Mungkin ini cara yang tepat untuk menghasilkan bibit unggul untuk Indonesia. Namun, apakah jalan keji seperti ini yang harus ditempuh?

Menanti Kepedulian

Anggaran tidak ada. Fasilitas tidak memadai. Kebijakan tidak populis. Ditambah masyarakatnya ndableg dan apatis. Sempurna sekali penderitaan bangsa ini.

Jika innate immunity ini yang diberlakukan  —tepatnya pembiaran dan lepas tanggung jawab—, maka penderitaan bangsa ini semakin berlarut dan berkepanjangan. Hilangnya beberapa pemangku kebijakan penting, sepertinya memperkuat dugaan ini.

Pemerintah harus memahami secara tepat herd immunity dan innate immunity. Sehingga dapat mengambil kebijakan yang jernih. Kebijakan yang berasal dari hati nurani. Kebijakan yang mencerminkan kepedulian kepada rakyatnya.

Rakyat menanti kehadiran pemerintah. Rakyat menantikan kepedulian itu. Kepedulian itu dapat merasakan penderitaan orang lain. Kepedulian itu mencoba menarik penderitaan orang lain sebagai masalah diri sendiri, sehingga tergerak untuk membantu, menolong, dan menyelesaikan masalah.


*) Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Ketua Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta.

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here