Opini

Opini

Opini

Apr 23, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Ada Loh, yang Tulus Mencintai Muhammadiyah

Oleh: Prayudha*

Pandemi memaksa saya tinggal di kampung. Awalnya, sembari work from home, saya berniat menemani istri yang akan melahirkan. Kondisi yang belum jelas menghalangi saya kembali ke Jogja.  Kegiatan mengajar dan administrasi saya lakukan total secara daring dari kampung saya di Cilacap, Jawa Tengah.

Sembari menyelesaikan tugas dari kampus tempat saya mengajar, saya membantu mertua berjualan pupuk dan obat pertanian. Ini karena saya numpang makan dan tidur di tempat mertua. Menantu macam apa coba kalau saya hanya leyeh-leyeh sambil “mantengin” layar laptop.

Kampung istri saya yang tepatnya berada di Cimanggu, secara geografis terdapat di Cilacap Barat. Karena merupakan wilayah perbatasan dengan Jawa Barat, penduduk di wilayah ini setengahnya berbahasa Jawa, setengah lagi penutur Sunda. Pelanggan di kios pertanian kami sebagian besar adalah penutur Sunda.

Suatu hari, datang pembeli berumur 60-an tahun. Awalnya dia menanyakan obat pertanian dengan bahasa Sunda. Karena melihat saya nervous dan gagap, ia switch menggunakan bahasa Indonesia. Meski berkostum casual ala-ala penjaga kios, aura priyayi saya mungkin masih tampak. Dia lantas menanyakan siapa dan asal saya. “Oh, mantune Pak Haji. Kulo nggih langganane Pak Haji sampun dangu mas,” jawab bapak tersebut menggunakan bahasa Jawa.

Obrolan kami selanjutnya menggunakan bahasa Jawa. Setelah tahu jika saya mengajar di Universitas Ahmad Dahlan, ia tampak lebih bersemangat. “Dosen UAD nggeh mesti ‘M’ nggeh mas?” ujar sosok yang kemudian saya kenal dengan nama Haji Jauhari tersebut. “Oh kedah Pak. Dosen UAD ya mesti Muhammadiyah dong. Harus!” jawab saya sembari berkelakar.

Haji Jauhari rupanya seorang pensiunan guru SMP. Ia bercerita bahawa 30-40% umat Islam Cimanggu adalah warga Muhammadiyah. Dalam pengamatan saya, wilayah Cilacap yang mix Jawa-Sunda memang memiliki prosentase warga Muhammadiyah yang cukup tinggi. Sekolah-sekolah Muhammadiyah cukup banyak dan besar.

Ia cukup prihatin mengapa dari begitu banyak lulusan kampus Muhammadiyah, hanya sedikit yang kemudian menjadi aktivis persyarikatan. Ia juga meminta saya agar suatu saat mendirikan ranting di desa saya. Hari-harinya kini dihabiskan untuk bertani dan aktivitas sosial keagamaan.

Di pelosok-pelosok lain mungkin masih banyak sosok seperti Haji Jauhari. Ia mencintai Muhammadiyah dengan tulus dan jauh dari kepentingan pribadi. Sosok-sosok asketis tersebut mungkin tidak berada di posisi keren semacam pejabat negara atau pejabat kampus. Harus diakui dewasa ini bahwa identitas kemuhamadiyahan menjadi semacam stempel yang diperebutkan guna memperlancar mobilitas sosial segelintir orang.

Sosok semacam Haji Jauhari barngkali tak mengenali sisitem stempel semacam itu. Baginya, tanda keberadaan Muhammadiyah adalah ketika warga dan umat semakin sejahtera. Baginya, seorang Muhammadiyah adalah seseorang yang mau memikirkan sekaligus bekerja bagi warga dan umat tanpa ingin mendapat setempel apapun. (*)


*Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here