Opini

Opini

Opini

Mar 19, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Diangkat, Mengritik, Diganti: Achmad Yurianto

Oleh: Heru Prasetya*)

Tulisan ini diniati sederhana, menceritakan kisah Achmad Yurianto, yang pernah bertugas sebagai Juru Bicara Pemerintah pada Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penanganan Covid-19. Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementrian Kesehatan RI itu ditunjuk Presiden Jokowi sebagai juru bicara pada tanggal 13 Maret bersamaan dengan pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2020.

Also Read YASINAN MODEL BARU

Mengapa perlu dibentuk gugus tugas tersebut? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan Covid-19 sebagai pandemik tanggal 11 Maret 2020. Pertimbangan pembentukan gugus tugas ini adalah telah terjadi keadaan tertentu dengan adanya penularan Covid-19 di Indonesia yang perlu diantisipasi dampaknya. Presiden juga mempertimbangkan bahwa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 diperlukan langkah-langkah cepat, tepat, fokus, terpadu, dan sinergis antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Gugus tugas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Kiprah Yuri, panggilan akrabnya, tak bisa dipandang sebelah mata. Tiap hari ia membeberkan perkembangan penyebaran Covid-19 kepada mass media untuk disebarkan ke masyarakat luas. Tujuannya bukan membongkar penyebaran dari sisi negatif, tetapi agar masyarakat paham bahwa virus Corona memang berbahaya.

Nama Agus Yurianto (di awal-awal sering ditulis Agus Yulianto) pun menjadi populer. Keterangan-keterangannya sangat ditunggu, seakan menunggu nilai ujian dari guru atau dosen. Kata zona hijau, kuning, merah, dan hitam sering keluar ketika ia membacakan data perkembangan harian penyebaran virus Corona di tengah-tengah masyarakat. Tak ada fakta dari data yang ia tutupi. Transparansi informasi inilah yang diharapkan masyarakat, untuk menentukan sikap sehari-hari yang harus dilakukan di masa pandemi Covid-19.

Tanggal 10 Juli 2020, Yuri menjadi salah satu pembicara pada peluncuran buku Mengadang Corona: Advokasi Publik di Tengah Pandemik karangan politikus PAN Saleh Partaonan Daulay di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan. Disitu Yuri mengaku salah memberikan istilah new mormal kepada masyarakat. "Diksi new normal itu sebenarnya di awal mau kami ubah. Waktu sosical distancing itu diksi yang salah, dikritik langsung kami ubah, new normal kemudian kami ubah menjadi adaptasi dengan kebiasaan baru," kata Yuri.

Pengakuan yang sebenarnya wajar disampaikan seorang juru bicara pemerintah, karena banyak yang memahami new normal sebagai istilah boleh kembali beraktivitas seperti sediakala, seperti ketika tidak ada virus Corona.

Saya mencoba menelusuri penggunaan istilah new normal di tanah air sehubungan dengan pandemic Covid-19 ini. Paling awal terdapat ditulis katadata.co.id. Di portal itu adalah satu tulisan berjudul “Jokowi Bakal Berlakukan New Normal di Sejumlah Daerah, Ini Syaratnya”. Diunggah 27 Mei 2020 pukul 11.33.

Pada berita ditulis begini “New normal akan dilaksanakan di daerah dengan laju penyebaran virus corona yang sudah rendah, ditandai oleh angka reproduction rate atau RO di bawah 1.” Kemudian ada teks “Presiden Joko Widodo meminta sosialisasi protokol kesehatan new normal lebih masif. Pemerintah akan mengimplementasikan tatanan normal baru atau new normal di sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota.”

Dari berita tersebut, ternyata istilah “new normal” tidak bisa dilepaskan dari syarat dan ketentuan yaitu “angka reproduction rate atau RO di bawah 1.” Tapi kemudian yang tersebar di masyarakat bahwa sekarang adalah era new normal tanpa syarat perkembangan penyebaran virus Corona. Di masyarakat, dan ini tersebar kemana-mana, syaratnya hanya harus mematuhi protokol kesehatan, antara lain memakai masker, jaga jarak, sering cuci tangan pakai sabun, dan sejumlah protokol lain. Sayangnya kesalahan pemahaman seperti ini tidak direspon dengan cepat, malah diikuti dengan kebijakan yang seakan-akan membenarkan antara lain pembukaan beberapa tujuan wisata dengan syarat menerapkan protokol kesehatan.

Pada titik inilah Yuri mengakui kesalahan pemerintah dalam penggunaan diksi new normal. Ketika membaca berita itu, dalam hati saya bertanya-tanya “Eh…meralat yang pernah disampaikan Presiden.” Terus terang saya tidak berani melanjutkan respon karena terlalu subjektif (dan tidak punya keberanian…he he he). Kekhawatiran saya seakan terjawab hari Selasa 21 Juli 2020, ketika Presiden Jokwi membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (kompas.com).

Sebagai gantinya, kini ada Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di bawah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Satgas ini tetap dipimpin Kepala BNPB Doni Monardo. Namun, terjadi pergantian posisi pada jabatan juru bicara dari Ahmad Yurianto kepada Prof. Wiku Adisasmito yang sebelumnya adalah Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Kemana Yuru selanjutnya? Dia pulang kandang sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementrian Kesehatan RI.

Pergantian posisi adalah sebuah kelaziman. Bagi masyarakat yang penting adalah memperoleh informasi sebenar-benarnya tentang perkembangan penyebaran Covid-19, seperti pernah dijalankan fungsi jubir itu oleh Achmad Yurianto. Tak kalah penting (atau malah lebih penting) adalah dikendalikannya penyebaran virus tersebut sehingga jumlah penderita selalu turun dan turun. Soal siapa pejabat dan apapun istilah yang digunakan silakan saja, tapi buka terserah. (*)


*)Tim Redaksi mediamu.com dan Anggota MPI PWM DIY

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here