
Perkenalkan, namaku Annisa. Aku seorang wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dan memiliki tiga anak. Sejak kelahiran anak ketiga yang usianya sangat berdekatan dengan anak kedua, aku meminta kepada suami untuk mempekerjaan asisten rumah tangga. Namanya Bi Minah, wanita berusia hampir 50 tahun, dengan hati lembut juga amat santun saat bertutur kata. Kami memilihnya karena melihat kondisi perekonomian Bi Minah yang mungkin sedang kekurangan, dan juga Bi Minah merupakan single parents dari anak satu-satunya, Rahman.
Tak semua hal kuminta kepada Bi Minah untuk dikerjakan, hanya untuk bersih-bersih dan memasak. Sementara anak-anak masih aku yang mengurus. Namun Bi Minah seringkali membantu mengurus keriwehan anak-anak yang notabene tak bisa diam bahkan ketika mereka makan. Bi Minah benar-benar sangat baik, dan amat kusyukuri kehadirannya.
Kini, sudah dua tahun Bi Minah menjadi asisten rumah tangga. Bi Minah kami anggap seperti keluarga sendiri. Tapi tidak dengan anaknya.
Entah mengapa, aku benar-benar tak suka dengan Rahman. Tak seperti nama yang disematkan untuknya, Rahman yang kini sudah masuk bangku SMA terlihat amat kasar dengan ibunya.
Saat pagi hari, dia hanya pamit dan meminta uang kepada ibunya, tanpa mencium tangan, tanpa mengucap terima kasih. Pakaian awut-awutan. Suara motornya sangat bising di telinga karena ia modifikasi. Terkadang aku melihat dia bersama teman-temannya merokok di warung depang gang. Saat kutegur, Rahman tak menghiraukan. Saat kusampaikan kepada Bi Minah, jawaban Bi Minah pasti sudah menasihati Rahman tak henti-hentinya.