Budayawan Mustofa W. Hasyim Berguru kepada 40 Pendekar

Foto: Ahimsa/mediamu.com

YOGYA – Nama Mustofa W. Hasyim dikenal sebagai budayawan. Karya-karya sastranya mengalir seakan tak pernah berhenti. Hujan belakangan yang rajin mengguyur Yogya, bisa sebagai gambaran bahwa karyanya terus hadir, deras mengalir. Salah satu hasil olahan jiwanya adalah buku “Berguru kepada 40 Pendekar” (2021) yang diterbitkan Suara Muhammadiyah.

Dalam buku itu, dikupas kisah persinggungannya dengan berbagai tokoh agama, tokoh budaya, serta tokoh bangsa. Momen Hari Guru Nasional yang baru saja terlewat rasanya tepat untuk berguru kepadanya. Tumbuh sejak kecil di Yogyakarta, kota budaya, menjadikan Mustofa akrab dengan perkembangan budaya dan sejarah.

Mediamu.id sangat bangga ketika berkunjung ke perpustakaan milik budayawan ini di Kampung Kauman tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-67, beberapa waktu lalu. Pada Rabu senja sebelum peringatan Milad ke-109 Muhammadiyah, kami belajar dan berguru lewat cerita perjalanan panjang Cak Mus.

“Neng Yogya, tapi ra tau neng toko buku yo kebangeten,” ujarnya. Maksudnya “Di Yogya, tapi tidak pernah ke toko buku itu kebangeten”.

Lahir dan tumbuh di Kotagede, Yogyakarta, sejak 1954, Mustofa mengingat masa kecilnya yang dekat dengan dunia perbukuan.

Ketika masih bersekolah di SD Muhammadiyah Bodon Kotagede, pria ini mengaku sering mampir ke Pasar Legi. “Kalau pas Legi itu banyak yang jual buku loak,” terangnya. Menariknya, selain menjual buku, pedagang yang ditemuinya di pasar itu juga sering menyajikan tampilan wayang.

Saking rajinnya membaca buku, Mustofa kecil sampai pernah ditegur pedagang tersebut, “Kowe maca buku terus tapi ra tau tuku ki piye?” (Kamu baca buku terus tapi tidak pernah beli, itu bagaimana?). Akhirnya, ia jadi rajin membeli buku di situ. “Sangu sekolah nggak dipakai buat jajan, tapi buat beli buku,” ungkapnya.

Tidak hanya gairah membaca yang patut diacungi jempol, tetapi juga semangat berhemat. Mustofa tetap datang ke pasar untuk secara rutin membeli satu buku, sembari itu memanfaatkan waktu untuk menghabiskan bacaan lima buku tiap kali pergi ke sana. “Beli satu buku, bacanya lima buku,” tuturnya sambil tersenyum.

Mustofa menceritakan itu dengan riang dan ringan. Begitupun ketika ia berbagi pengalaman saat dengan sigap mengajukan diri menjadi pengurus Perpustakaan Pemuda Muhammadiyah (PM) Kotagede.

Laksana tumbu oleh tutup, laki-laki ini kemudian banyak menghabiskan waktu berinteraksi dengan karya-karya sastra dan buku-buku yang mengupas budaya. “Di situ jadi pusat pemikiran anak muda. Jumat, Ahad, dan Rabu anak-anak kumpul. Kalau pas Legi juga banyak orang datang,” terang Mustofa.

Selain itu, pengalaman-pengalaman dalam kepenulisan pun banyak didapatkan ketika menjadi pengelola buletin dan majalah dinding sekolah. Perjalanan panjang itu yang nantinya membawa seorang Mustofa menjadi Redaktur Majalah Suara Muhammadiyah. 

Pages: 1 2

You might also like