Opini

Opini

Opini

Apr 26, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Virus Corona Hancurkan Keangkuhan Manusia

Oleh: Heru Prasetya*

Sabtu, 27 Mei 2006 sekitar pukul 05.55, bumi Bantul dan sekitarnya berguncang kuat. Gempa bumi 5,9 scala Richter memporakporandakan rumah dan bangunan lain. Sebagian kampung bahkan habis, rata dengan tanah.

Rumah saya ada di jarak sekitar 30 kilometer ke utara dari pusat gempa. Getaran tetap terasa, beberapa bagian rumah retap, genting rumah rontok. Ada juga rumah yang roboh.

Ketika itu masih pagi. Anak usia sekolah sedang mempersiapkan diri, mandi, sikat gigi dan lain-lain. Kaum ibu kebanyakan sedang menyiapkan sarapan. Kaum bapak menyiapkan hal lain, ada yang bersih-bersih lingkungan rumah atau memandikan anak.

Awalnya semua terasa tenang.

Gempa bumi mengubah segalanya. Manusia berhamburan ke luar rumah, tanpa kecuali. Ketika masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, guncangan kedua kembali terjadi. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Belum hilang perasaan was-was, agak siang muncul kabar bahwa gempa tersebut disusul dengan tsunami. Kebetulan Bantul berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Kebetulan juga peristiwa tsunami yang melanda kawasan Aceh sebelumnya, masih hangat dalam ingatan bangsa Indonesia.

Terlihat kebingungan di wajah orang-orang, termasuk saya. Tidak tahu harus melakukan apa. Tanpa perintah siapapun, banyak warga berlari menuju lapangan sepakbola. Mereka bergerombol, tanpa saling menyapa seperti biasa. Jarak lapangan ke pantai selatan sekitar 27 kilometer, tapi ada kabar burung menyebut tsunami mengarah ke utara sehingga tinggal lima kilometeran dari lapangan tadi.

Beberapa ada yang hilir mudik mengendarai sepeda motor. Pergi, balik lagi. Begitu berulang-ulang. Ada juga yang berombongan menggunakan pikup. Hanya kesana-kemarin. Pergi, balik lagi. Wajah mereka, mungkin wajah saya juga, dipenuhi kecemasan.

Dua sepeda motor terlihat melintas. Satu motor dinaiki 3 orang dan satunya lagi 4 orang. Ayah, ibu, anak-anak, dan cucu. Setengah jam kemudian mereka balik lagi, masih dengan komposisi sama dan ketegangan yang sama. Beberapa hari kemudian saya tahu bahwa mereka tadinya mau ke rumah saudara di Magelang agar terhindar tsunami. Hanya, di tengah perjalanan ingat Gunung Merapi sedang aktif, sehingga memutuskan balik lagi.

Kisah lama tersebut tiba-tiba mencuat dalam ingatan saya di masa pandemi Covid-19 sekarang ini. Manusia tahu sedang berhadapan dengan siapa (atau apa) tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk “melawannya.” Tips hidup sehat sudah sangat dipahami, tapi perasaan was-was tidak juga mampu dihilangkan. Apalagi, para ahli di bidang itu justru “pulang” ke hadlirat Ilaahi lebih awal.

Kehidupan manusia di segala penjuru dunia sedang diobrak-abrik oleh sesuatu yang sangat kecil, teramat sangat mikro sekali. Tidak membedakan warna kulit, status sosial ekonomi, agama, bangsa, pun tidak membedakan negara maju atau bukan. Manusia dilanda rasa was-was. Padahal jika dilihat ukurannya, manusia jauh lebih besar.

“Pasukan” virus corona telah meluluhlantakkan kesombongan manusia. Merontokkan kebebalan manusia. Memaksa manusia untuk sadar diri bukanlah makhluk super. Benar-benar dibuat tunduk setunduknya.

Silakan jelajahi planet lain, silakan bikin pesawat “anti kiamat”, silakan bikin senjata pemusnah, silakan mencengkeram lainnya dengan kekuasaan ekonomi, silakan menguasai dunia dengan kemajuan teknologi. Silakan mengembang-biakkan kesombongan. Tapi, “makhluk asing” virus corona memberi pelajaran besar.

Manusia bukan apa-apa dibandingkan kekuasaan Allah SWT. Ilmu manusia hanya seperti setetes air di lautan. Akankah manusia tetap mempertahankan kesombongannya? Virus corona sepertinya mengajak manusia untuk kembali kepada perintah Allah SWT. (*)


*Penulis adalah Tim Redaksi mediamu.com

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here