Opini

Opini

Opini

Apr 20, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Panduan PP Versus Waton Ngeyel

Oleh: Heru Prasetya*

Hari ini (Rabu, 22 April 2020) saya ngeshare di grup ranting Imbauan Mengingatkan dari PRM Nogotirto tentang Ibadah Ramadhan dari Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Dalam Imbauan online tersebut disebutkan juga Fatwa Majelis Ulama (MUI), Edaran Kementrian Agama, dan Surat Edaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Maksud Imbauan adalah mengingatkan bahwa saat ini pandemi Covid-19 belum berakhir, sehingga ada tata cara beribadah yang berbeda dibandingkan dengan “situasi normal”. Misalnya tentang jama’ah di masjid/mushola/langgar/surau pindah ke rumah masing-masing.

Tepat perkiraan saya sebelumnya, respon “cerdas” dan “kreatif” bermunculan. Ada yang bilang “Oke Pak, tapi…” atau “kemarin takmir sudah menyepakati tetap jama’ah tapi dengan syarat dan ketentuan berlaku” atau “kami tidak bisa seperti itu” dan lain-lain.

Yang membanggakan ada juga merespon dengan kalimat “Siap laksanakan” atau “kami sudah putuskan hal seperti itu” atau “saya teruskan ke jama’ah nggih” dan lain-lain.

Begitulah hidup di kampung seperti saya: Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Masyarakat heterogen, baik status sosial, kondisi ekonomi, tingkat pendidikan, wawasan, pemahaman agamanya, Muhammadiyah atau bukan Muhammadiyah.

Pengambilan “dasar hukum” dari PP Muhammadiyah kemudian menyebut Fatwa MUI, Edaran Kementrian Agama, dan Surat Edaran PB NU oleh PRM Nogotirto sudah sangat tepat karena Imbauan Mengingatkan itu ditujukan kepada warga Muhammadiyah dan seluruh masyarakat. Mengapa seluruh masyarakat? Karena ibadah bukan hanya milik warga Muhammadiyah, sehingga pencerahan juga diberikan kepada masyarakat umum (kaum muslim).

Argumentasi PRM, jika warga Muhammadiyah ya percayalah dengan PP, jika warga NU percayalah dengan PB. Jika nggak mau PP dan PB ya pakailah acuan MUI. Kok tetap ada yang nggak percaya PP, PB, dan MUI, yang percaya sama pemerintah melalui Kemenag. Jika tetap tidak mau sama semua, terus mau ikut siapa?

“Ndherek Gusti Allah.” Ada saja yang menjawab seperti itu. Padahal acuan yang dipakai empat lembaga tadi adalah sunnah/hadits Nabi SAW, perbuatan khalifah, pernyataan tabi’in, pendapat ulama salaf, dan (jika perlu) ijtihadi. Kelompok “waton ngeyel” seperti itu benar-benar ada di saat darurat covid sekarang ini.

Kelompon waton ngeyel (jika disingkat menjadi kewang) ini sudah ada sejak era Nabi Adam a.s hingga era Nabi Muhammad sa.w. Artinya, dalam perjalanan seluruh nabiyullah pasti ada kewang-kewangnya. Jauh dari argumentasi (bahkan tidak punya argumentasi) tapi tetap saja merasa pendapatnya benar, orang lain pasti salah. Pokoknya. Dalil umum mereka adalah “pokoknya”.

Kewang itu belum tentu masyarakat umum, kadang malah berpredikat pimpinan di kelompoknya. Contoh konkrit pada hari Kamis 16 April 2020. Ada salah satu pimpinan ngeshare di grup WA “bagi yang kangen Jum’atan, silakan besok datang di Masjid Anu. Saya khutbah disana”. Ketika saya membaca kok ada rasa “kucing-kucingan”, tidak paham maksud sesungguhnya dari Maklumat PP Muhammadiyah tentang mengganti Jum’atan dengan shalat Dhuhur di rumah. Physical distancing. Social distancing. Hindari kerumunan, Bro.

Bagi Muhammadiyah, menjadi tugas bersama untuk mengajak anggota (dan aktivis serta simpatisan) agar kembali ke “jalan yang benar” sesuai “garis komando” PP Muhammadiyah. Juga bagi NU, MUI, dan negara.

Juga perlu mengoreksi mengapa bisa muncul seperti itu? Organisasi menjadi seperti tidak diperlukan. Ada atau tidak ada, tak lagi dipikirkan. Toh masyarakat tetap bisa tetap hidup tanpa hadirnya pimpinan. Tetap survive. Ada ya syukur, nggak ada ya syukur. Tak beda.

Atau, jangan-jangan rendahnya tingkat kepercayaan seperti itu sudah merembet ke persoalan ibadah? Mlaku sak geleme dhewe tanpa perlu ketentuan syar’i. Na’udzubillahi mindzalik. Kita perlu introspeksi. (*)


*Tim Redaksi mediamu.com dan Ketua PRM Nogotirto

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here